Surabaya,http://warnakotanews.com
Pengadilan Negeri (PN) Surabaya baru saja membuat publik tercengang. Sidang tuntutan terhadap Guntual Laremba dan Tutik Rahayu, mantan pasangan suami istri sekaligus pengacara, baru digelar pada Senin, (21/07/2025).

Kasus yang bermula September 2021 ini memakan waktu hampir lima tahun, sebuah durasi yang luar biasa panjang. Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejati Jatim, Guntur Arief Witjaksono, akhirnya menuntut keduanya dengan hukuman 3 bulan penjara.

“Kasus ini benar-benar unik dan memakan waktu yang sangat lama,” ungkap JPU Guntur Arief Witjaksono dalam keterangannya kepada media. “Prosesnya memang panjang dan kompleks, namun akhirnya kami telah sapai pada tahap penuntutan.”

Kasus ini bermula dari ketidakpuasan Guntual dan Tutik terhadap putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo. Keduanya kemudian melontarkan kritik pedas terhadap institusi peradilan melalui unggahan di media sosial dan pernyataan di ruang sidang. Beberapa pernyataan kontroversial mereka antara lain: “HARUS MELAWAN, JANGAN PERCAYA PENGADILAN YANG KAYAK GINI MODELNYA”, “BUBAR PENGADILAN, HAKIM BISA DIBELI”, “HAKIM KENA SOGOK”, dan “HAKIM KENA SUAP”.

Lebih lanjut, Guntual juga menulis status di Facebook-nya yang berisi tuduhan serius terhadap integritas hakim dan sistem peradilan. Ia menuduh adanya “mafia hukum” dan praktik suap menyuap. Unggahan tersebut, menurut JPU, merupakan pelanggaran Undang-Undang ITE.

Guntual dan Tutik awalnya merupakan pihak pelapor dalam perkara perbankan tersebut, namun berubah status menjadi terdakwa akibat pernyataan-pernyataan mereka yang dinilai mencemarkan nama baik peradilan.

Setelah majelis hakim membacakan putusan yang dianggap merugikan, Guntual dan Tutik melontarkan kalimat bernada tudingan seperti “Hakim bisa dibeli”, “Hakim kena suap”, dan “Bubar pengadilan” di dalam dan luar ruang sidang. Pernyataan itu memicu kegaduhan dan menjadi perbincangan publik.

Tidak berhenti sampai di situ, pada 29 Juni 2018, Guntual melalui akun Facebook pribadinya Gunde Guntual mengunggah tulisan yang menyebut pengadilan sebagai “sarang mafia hukum” serta menyatakan hakim dapat menyalahgunakan kekuasaan apabila tidak menerima suap. Tutik, lewat akun Tuty Rahayu, menulis sindiran serupa yang menyebut “putusan bisa diperjualbelikan” dan “keadilan hanya untuk yang punya uang”.

Unggahan tersebut dilengkapi video berdurasi 3 menit 41 detik berjudul “Viral bobroknya pengadilan negeri Indonesia! Tidak ada keadilan bagi korban yang tidak menyuap hakim”, yang kemudian viral dengan lebih dari 1,1 juta penonton. Reaksi keras datang dari lingkungan peradilan, termasuk Sekretaris PN Sidoarjo Jitu Nove Wardoyo yang melaporkan unggahan itu ke polisi, atas perintah langsung Ketua PN Sidoarjo. Laporan resmi teregister dalam LPB/303/VII/2018/Jatim/Resta Sda, tertanggal 3 Juli 2018.

Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Guntur Arief Witjaksono, menyatakan perbuatan kedua terdakwa telah memenuhi unsur penghinaan dan pencemaran nama baik melalui media elektronik.

Menuntut hukuman penjara masing-masing selama Tiga bulan, denda Rp1 juta subsider satu bulan kurungan, serta meminta agar keduanya segera ditahan,” ujar Guntur dalam persidangan.

Sidang selanjutnya akan digelar dengan agenda pembacaan nota pembelaan (pledoi) dari tim kuasa hukum terdakwa.

Kuasa hukum terdakwa menilai kasus ini sebagai bentuk pembungkaman kritik dan menyebut bahwa pernyataan kliennya merupakan bentuk ekspresi kekecewaan terhadap keadilan yang mereka anggap tidak berpihak kepada korban. Meski demikian, jaksa menegaskan bahwa kebebasan berekspresi tidak boleh melanggar hukum dan merusak martabat institusi negara.

Sementara Humas Pengadilan Negeri Surabaya , hingga berita ini dinaikan Belum dikonfirmasi apa penyebab kasus sudah 4 tahun lebih baru dituntut ? * rhy

Kiriman serupa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *