Surabaya ,http://warnakotanewscom
Sidang lanjutan kasus dugaan korupsi yang menjerat Suprapti, mantan Kepala Desa Gemarang, memasuki babak baru. Dalam sidang yang digelar di Pengadilan Tipikor Surabaya, Selasa (28/10/2025), Suprapti melalui penasihat hukumnya, Sukriyanto SH.,MH., menyampaikan duplik atau tanggapan atas replik Jaksa Penuntut Umum (JPU). Kasus ini terkait dengan pembangunan kolam renang di Dusun Mundu, Desa Gemarang, Madiun, yang menggunakan anggaran tahun 2018-2021 senilai Rp 1 miliar.

Sukriyanto SH.,MH., selaku ketua tim penasihat hukum, dengan tegas memohon kepada Majelis Hakim untuk membebaskan Suprapti dari segala dakwaan.

“Membebaskan Suprapti dari semua dakwaan tersebut (vrispraak) sesuai pasal 191 ayat (1) KUHAP. Atau setidak-tidaknya melepaskan Suprapti dari semua tuntutan hukum (onstlaag) sesuai pasal 191 ayat (1) KUHAP. Dan mengembalikan nama baik, harkat, dan martabat Suprapti,” ujarnya dalam persidangan.

Penasihat hukum berpendapat bahwa replik JPU tidak didukung oleh fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan dan bertentangan dengan kaidah hukum yang berlaku. Mereka juga menilai JPU gagal membangun argumentasi hukum yang telah disampaikan dalam nota pembelaan (pledoi).

“Kami tegaskan kembali, bahwa unsur-unsur setiap orang tidak terbukti karena tidak adanya niat jahat (mens-rea) Terdakwa, untuk melakukan tindak pidana korupsi. Melainkan beretikad baik untuk pembangunan desa,” tegas Sukriyanto.

Menurutnya, perbuatan Suprapti lebih disebabkan oleh ketidaksempurnaan administratif atau mal-administrasi, bukan tindak pidana korupsi dengan niat jahat. Penafsiran JPU terhadap diskresi dan regulasi pembangunan desa dianggap keliru dan terlalu literalistik.

Lebih lanjut, penasihat hukum menyatakan bahwa unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain tidak terbukti, karena JPU gagal membuktikan adanya aliran dana atau penambahan kekayaan tidak wajar pada terdakwa. Penerapan pasal 37 A UU Tipikor oleh JPU juga dinilai tidak proporsional dan mengabaikan beban pembuktian utama JPU.

Terkait kerugian negara, Sukriyanto berpendapat bahwa Laporan Hasil Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN) oleh auditor internal Kejaksaan Tinggi Jawa Timur tidak memiliki independensi dan kekuatan pembuktian yang final. Kerugian yang diklaim juga dianggap tidak nyata dan tidak pasti mengingat adanya aset fisik proyek.

“Dalam fakta persidangan secara gamblang membuktikan bahwa Jaksa penuntut Umum secara nyata tidak melibatkan BPK atau BPKP dalam menentukan perhitungan kerugian negara dalam perkara ini,” ujarnya.

Penasihat hukum menyoroti inkonsistensi JPU dalam pembuktian kerugian negara. PKKN internal Kejaksaan menentukan kerugian negara secara total loss, yang bertentangan dengan fakta persidangan yang disajikan oleh ahli Dr. Edi Purwanto ST, MT dari UNS. Ahli tersebut menerangkan bahwa sebagian besar pekerjaan proyek telah selesai, dengan bobot volume pekerjaan yang dilaksanakan di lapangan sebesar 70,40%.

“Bagaimana mungkin suatu proyek yang telah selesai sebagian besar (70,4 %) dianggap sebagai total loss? Ini menunjukkan ketidakcermatan dalam menyusun dan mengajukan pembuktian,” kata Sukriyanto.

Dengan demikian, penasihat hukum berkesimpulan bahwa dakwaan JPU cacat substansial. Berdasarkan prinsip hukum in dubio pro reo dan asas keadilan, Suprapti harus dibebaskan dari segala dakwaan dan tuntutan hukum.* rhy

Kiriman serupa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *