Surabaya,warnakotanees.com
sidang perkara dugaan pencabulan dengan terdakwa Fathur Rohman ( 44 ) warga Jalan Kejawan Lor Surabaya, kembali digelar di PN Surabaya .
Sidang kali ini dengan agenda Nota Pembelaan (Pledoi) dari Kuasa Hukum Terdakwa, yang mana Nota Pembelaan (Pledoi) dari Kuasa Hukum Terdakwa sebagaimana Analisis Yuridis Formil dan Analisis Yuridis Materil yang pada pokoknya menyampaikan sebagai berikut:
Bahwa Terdakwa diperiksa tidak didampingi oleh Penasehat Hukum sebagaimana yang diatur dalam pasal 54 KUHAP, 55 KUHAP dan 56 KUHAP.
Bahwa Penyidik memeriksa Saksi Putra Febrian pada tanggal 09 Agustus 2023. (Sedangkan LP dibuat oleh Korban 11 Oktober 2023).
Bahwa ada ketidaklaziman dalam visum et repertum, yang mana dalam dakwaan JPU kejadian tersebut terjadi pada tahun 2019, namun baru dilakukan visum 4 tahun setelahnya.
Bahwa, adalah dalam perkara ini penyidik dan penuntut umum sengaja memaksakan diri untuk membuktikan kesalahan Terdakwa, karena dalam membuktikan kesalahan Terdakwa hanya berdasarkan dari keterangan Terdakwa dalam BAP kepolisian yang dilakukan dibawah tekanan dan ancaman, dan keterangan Korban Semata, sehingga dalam hal ini sangat memungkinkan terjadinya rekayasa dan jauh dari kesan Objektif dan Terpercaya maka sudah seharusnya keterangan tersebut tidak dapat diterima sebagai saksi yang sempurna dan mohon ditolak atau dikesampingkan ;
Bahwa, meskipun alat bukti berupa surat visum et repertum telah dijadikan sebagai alat bukti, hal tersebut tidak dapat menunjukkan apakah saksi korban dicabuli oleh Terdakwa, atau di cabuli oleh orang lain, atau vagina Saksi Korban terluka/robek karena Aktivitas yang menyebabkan vaginanya robek?. Dan hal tersebut juga tidak dapat membuktikan secara sah dan meyakinkan Terdakwa pulalah yang melakukannya, hal ini dikarenakan visum et repertum nomor: Ver/422/X/Kes.3/2023/Rumkit tertanggal 12 Oktober 2023 tidak dapat menunjukkan rekam jejak yang secara pasti dengan siapa saksi korban tersebut telah di penetrasi atau vagina korban robek karena aktivitas lain, mengingat dari hasil visum et repertum tersebut tidak dapat diketemukan bukti yang meyakinkan jika Terdakwa tersebut telah melakukannya;
Bahwa, barang bukti berupa 1 (satu) buah baju terusan warna Ungu dengan gambar Kambing dan 1 (satu) buah celana dalam warna Pink menurut keterangan Saksi Pelapor (Hafid) dan Saksi Siti Maslachah yang menerangkan dalam persidangan bahwa Alat bukti tersebut bukan barang bukti atau pakaian yang di pakai oleh Saksi anak korban pada waktu kejadian tahun 2019.
Bahwa berdasarkan fakta hukum tidak ada alat bukti baik keterangan saksi-saksi yang menerangkan bila Terdakwa benar-benar telah melakukan tindakan sebagaimana unsur tindak pidana yang dimaksud selain dari berdasarkan dari keterangan Korban Semata, sehingga dalam hal ini sangat memungkinkan terjadinya rekayasa dan jauh dari kesan Objektif dan Terpercaya maka sudah seharusnya keterangan tersebut tidak dapat diterima sebagai saksi yang sempurna dan mohon ditolak atau dikesampingkan. Berpijak dari fakta-fakta hukum dalam persidangan tersebut unsur ini dapat dikatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan;
Bahwa, berdasarkan fakta persidangan, Terdakwa menyangkal dan mengingkari semua isi BAP kepolisian. Kami lebih cenderung agar Yang Mulia Hakim Majelis bersifat aktif, BAP merupakan dasar hukum dibuatnya surat dakwaan oleh jaksa atau penuntut umum. BAP yang cacat yuridis akan membawa konsekuensi surat dakwaan batal demi hukum (vide: Pasal 143 KUHAP). Keempat, penyidik yang melakukan kekerasan atau pemaksaan dapat dikenai delik Pasal 422 KUHP dan delik penculikan. Juga dapat digugat secara perdata melalui pasal catch all 1365 KUH Perdata (BW), dalam perkara tindak pidana umum hanya penyidik (polisi) yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan, penangkapan, atau penahanan. Jadi, bukan wewenang badan ekstrayudisial. Mengingat Indonesia adalah negara hukum (menurut UUD 1945), bukan negara kekuasaan, konsekuensinya rule of law, rule of justice, law gives even treatment to all, hak-hak asasi manusia, dan sebagainya ditegakkan. Walaupun negara hukum itu dalam prakteknya hanya utopia, kita harus selalu cenderung mengimplementasikan cita- cita negara hukum tersebut, paling tidak secara maksimal berusaha ke arah negara hukum. Di sini, sudah saatnya direnungkan, untuk memakai judicial precedent seperti di negara-negara common law;
Berita acara pemeriksaan (BAP) sebagai hasil dari proses verbalisan yang dilaksanakan penyidik terhadap saksi maupun tersangka, tidak memiliki kekuatan pembuktian yang sempuma. Artinya, bagi hakim isi BAP tidak dapat dipakai dasar untuk menyatakan bahwa berdasarkan BAP saksi-saksi, seorang terdakwa dapat dinyatakan terbukti bersalah. Sebab menurut yurisprudensi Mahkamah Agung RI menyatakan sebagai berikut:
Bahwa berdasarkan alasan dalam keadaan bingung atau keadaan tertentu, maka keterangan/pengakuan terdakwa (isi dalam BAP) di muka polisi dan di muka persidangan dapat berbeda (Yurisprudensi No. 33 K/Kr/1974, tanggal 29 Mei 1975);
Bahwa pengakuan dalam BAP seorang tersangka di muka polisi dalam pemeriksaan pendahuluan (penyidikan) menurut hukum adalah suatu pengakuan yang dalam bahasa asing disebut “bloke bekentenis”, yang dalam bahasa Indonesianya berarti “pengakuan hampa”.
Hingga berita ini di beritakan pihak awak media belum konfirmasi pada pihak yang bersangkutan .*